Kamis, 13 Januari 2011


inLander.net  WARNET & GAME online

Berlokasi di karang bawang - Pakujati
persis nang pertelon cangkaraun...
one more steep to millenium

Sabtu, 12 Juni 2010

PAKUJATI kedung belis: Yang kreatif dan produktif

PAKUJATI kedung belis: Yang kreatif dan produktif

Yang kreatif dan produktif

Ketika krisis ekonomi global melanda dunia tidak sedikit perusahaan dan pengusaha bertaraf internasional maupun regional yang kocar-kacir terkena dampaknya. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional Indonesia secara umum, da tak pelak masyarakatlah yang merasakan dampaknya.
Ditambah lagi situasi politik negara yang cendarung semakin memanas dan tidak karu-karuan sehingga amat sangat mempengaruhi iklim sosial, hukum dan perekonomian kita.
Nyaris tiada hari tanpa demonstrasi dan kerusuhan.
Legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah tiga elemen pengelola negara yang semestinya berkewajiban membawa bangsa dan negara ini menuju ke arah yang lebih baik ke depan, namun nyatanya mereka justru saling bertengkar antar institusi.
Ujung-ujungnya rakyat kecil juga yang harus menjadi korban.
Nasib bangsa menjadi tidak begitu penting lagi karena masing-masing mereka para pengelola negara nampaknya lebih memikirkan nasib dan jabatanya sendiri-sendiri.
Lalu bagaimana nasib bangsa dan negara ini ke depan?

Pertanyaan diatas barangkali sesuatu yang penting tidak penting bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.
Karena bagi masyarakat kecil ada persoalan yang sangat terlalu besar dan lebih penting yang harus difikirkan ketimbang membahas soal politik yang tidak karuan juntrungnya, yaitu urusan perut.

Nah, bicara soal urusan perut, saya jadi teringat pak Rajad tetangga sebelah rumah yang memiliki peternakan ikan lele.
Namun disini saya tidak akan membahas soal perut pak Rajad, melainkan saya ingin bercerita mengenai perut ikan lele yang seakan-akan tidak pernah mengenal kenyang.
Baik pagi siang maupun sore selalu saja berebut makan. Sangat rakus.
Pak Rajad pun sepertinya paham betul akan hal ini, sehingga tanpa mengenal lelah ia bersedia mengumpulkan ayam-ayam mati dari peternakan-peternakan ayam petelur yang memang terdapat banyak di sekitar rumahnya.
Pak Rajad yang memiliki dua lahan kolam yang masing-masing kolam beruuran 5 X 3 berisi 7000 ekor ikan lele memang sangat kerepotan soal pengadaan pakan.
Untuk mencukupi kebutuhan pakan bagi 14.000 ekor ikan lele pak Rajad harus menyediakan sedikitnya 10 ekor ayam mati setiap hari. Ayam-ayam tersebut harus dibakar terlebih dahulu agar supaya dagingnya mudah hancur dan lunak dikonsumsi ikan-ikan lele.
Dan sebagai nutrisi tambahan sekaligus untuk mengantisipasi apabila tidak tersedia ayam-ayam mati, pak Rajad juga mengumpulkan belatung-balatung kotoran ayam, minimal setiap hari harus tersedia 3 ember besar belatung.

Namun dibalik kerepotan itu ternyata menyimpan sebuah harapan besar saatnya ikan-ikan lele dipanen.
Sekarang mari kita coba hitung-hitungan untung ruginya beternak ikan lele.
Satu ekor benih ikan lele ukuran 5cm seharga rp.150 X 14.000 ekor = rp. 2.100.000.
Proses pemeliharaan memerlukan waktu selama 3 bulan sampai masa panen.
Taruhlah angka kematian mencapai 3000 ekor (prediksi maksimal)
Berarti ikan lele yang tersisa tinggal 11.000 ekor.
Harga jual rp. 9000 / kg, setiap kg berisi 12 ekor ikan lele ukuran standard lengan bayi.
Berarti hasil panen pak Rajad kali ini mencapai 1 ton X rp. 9000 = 9.000.000
Setelah dipotong biaya membeli benih lele sebesar rp. 2.100.000 maka tersisa uang sebanyak rp. 6.900.000 yang merupakan keuntungan bagi pak Rajad selama 3 bulan.

Tentu saja angka yang lumayan besar untuk ukuran petani desa.
Apalagi disaat situasi perekonomioan sedang tidak stabil sedangkan tuntutan biaya hidup semakin meningkat, orang di tuntut bekerja lebih keras dan lebih produktif demi meningkatkan penghasilan.

Pak Rajad adalah contoh petani desa yang kreatif dan produktif, yang secara naluriah tergerak untuk membuka usaha budi daya ternak ikan lele sebagai usaha tambahan disamping pekerjaanya sebagai petani ladang dan kebun.
Mungkin kita perlu mengapresiasi usaha pak Rajad ini sebagai satu langkah / kiat jitu dalam menyikapi kondisi krisis imbas dari masalah perekonomian global.
Mengingat budi daya ternak ilan lele termasuk relatif mudah, selain tahan penyakit ikan lele juga tidak terlalu butuh penanganan yang rumit sebagaimana ikan gurameh, nila , mujahir dan sejenisnya.
Disamping itu juga proses penjualanya yang sangat gampang serta pengadaan benihnya juga mudah, sehingga siapapun sekiranya dapat mencobanya.

Bagi siapa yang berminat belajar cara beternak ikan lele dapat mendatangi lokasi peternakan pak Rajad yang beralamat di dusun karang bawang desa Pakujati.
Tepatnya pertigaan Cangkaraun indah.
Dengan senang hati pak Rajad akan berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai budi daya ikan lele.
Semoga sukses pak Rajad, amin'

Rabu, 09 Juni 2010

ku temukan sesuatu saat melukis

Berkutat dengan cat minyak kuas dan kanvas ternyata bukan cuma sekedar menuangkan inspirasi ataupun imajinasi. Lebih dari itu, ketika menemukan tingkat-tingkat kesulitan yang menuntut kemampuan teknis maupun improvisasi, disana kita akan merasakan dan menyelami bagaimana kerasnya perjuangan menaklukan kesulitan-kesulitan tersebut, dan sekaligus kita dapat belajar menghayati sensasi nikmat kepuasan tatkala berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada.

Dalam melukis, ketepatan mengkomposisi warna amat sangat penting, disamping keakuratan mensket objek lukisann juga tidak kalah pentingnya. maka dari itu pemikiran stereotip yang mamandang sebuah objek lukisan hanya dari satu sisi saja tidak akan berlaku dalam dunia melukis.
Begitu juga detail-detail kecil dan sederhana yang sekilas kadang nampak kurang perlu diperhatikan / kurang penting untuk disentuh padahal justru detail-detail itulah faktor penting yang mendukung terciptanya lukisan berkarakter.
Contoh misal objek lukisan batang pohon berwarna coklat, apabila kita hanya menyapukan warna coklat saja maka ia hanya akan menjadi lukisan batang pohon tanpa karakter dan tanpa dimensi.
Artinya, toleransi untuk melibatkan banyak warna-warna lain sangat mutlak diperlukan untuk mendukung keberadaan warna coklat agar memiliki karakter dan dimensi.

Tak ubahnya dengan proses berkehidupan.
Mungkin sangat berlebihan jika dikatakan melukis butuh kecerdasan.
Tapi yang pasti melukis butuh pamahaman dan pemikiran yang luas tanpa batas, selain juga butuh kesabaran, keuletan dan keberanian berimprovisasi serta toleransi yang tinggi.

Pemikiran stereotip yang memandang hidup hanya dari kacamata hitam putih, baik buruk, benar dan salah saja niscaya tidak akan menghasilkan/ menciptakan situasi dan kondisi kehidupan yang harmonis dan estetik.
Karena ibarat sebuah lukisan, keindahan hanya tampil dari akurasi komposisi warna dan sketsa yang proporsionaldan harmonis, harmonisasi hanya lahir dari toleransi.

Artinya, saya hanya ingin mengatakan bahwa banyak hal yang dapat kita peroleh dari selama proses melukis.
Bahkan melukis sama halnya dengan meditasi, merupakan sarana perenungan.
Hanya bedanya, melukis adalah bentuk meditasi yang aktif secara ragawi.

Marilah kita coba dan berupaya mengimplementasikan sikap dan pemikiran toleran kedalam realitas kehidupan sehari-hari agar tercipta satu kehidupan manusia yang harmonis dan sarat akan nilai-nilai estetika dan kemanusiaan.
Buka selebar-lebarnya hati dan pemikiran dalam menyikapi setiap objek permasalahan, jangan biarkan terpenjara dalam dikotomi-dikotomi / pengkotak-kotakan.
Hidup ini terlampau luas jika harus disikapi dan dipahami secara sempit dan dangkal.
Hidup ini indah, sayang jika harus rusak dan binasa oleh faham-faham pongah yang mengibarkan bendera kebencian dan permusuhan.
Kita adalah manusia yang harus berfikir dan bertindak selayaknya manusia, beadab dan berbudaya.
bukan sebaliknya.


Karangbawang 8 june 2010

Rabu, 03 Februari 2010

PAKUJATI doeloe dan sekarang

Pada era tahun 80-an, kesenian rakyat tradisional di desa Pakujati sangat maju dan berkembang. Beberapa kelompok kesenian seperti ebeg, sintren, wayang kulit dan ketoprak sempat eksis dan menambah kekayaan khasanah budaya pakujati pada saat itu.
Selain sebagai tontonan yang murah meriah dan bersifat menghibur, setidaknya keberadaan kelompok-kelompok kesenian tersebut juga merupakan sarana berkreasi dan berekspresi bagi para penggiat seni di Pakujati.
Setiap kali datang musim kemarau panjang, suasana malam di desa Pakujati selalu hangat dan greget dengan digelarnya pertunjukan kesenian sintren selama 40 malam tanpa henti.
Konon pertunjukan sintren ini digelar untuk meminta hujan supaya musim kemarau berlangsung tidak terlalu lama.
Namun terlepas dari apapun tujuanya, kesenian sintren memang memiliki keunikan nuansa yang tidak bisa didapatkan dari kesenian yang manapun.
Nyanyian para mlandang adalah mantra-mantra mistis yang mampu mentransformasikan kekuatan gaib hingga merasuki raga sang peraga sintren, yaitu perawan suci yang berdandan menor namun jauh dari kesan erotis.
Tarian sang sintren nan gemulai mengikuti alunan tembang para mlandang seiring irama tabuhan gamelan yang sederhana namun cukup nyamleng terdengar di telinga.
Pertunjukan sintren ini biasanya dimulai sejak pukul 8:00 malam hingga pukul 1:00 dini hari. Selama pertunjukan juga selalu diramaikan oleh kehadiran seorang badut yaitu penari pria yang mendampingi penari sintren.
Dan uniknya, tak seorangpun penonton yang beranjak pergi sebelum pertunjukan sintren ini berakhir, meski 40 malam pertunjukan berturut-turut dapat saja mengakibatkan orang jenuh dan malas menonton. Namun hal itu tidak terjadi pada pertunjukan sintren.

Kemudian kesenian ebeg, pentas ebeg adalah tarian kuda lumping yang digelar pada seyiap malam jumat kliwon dan malam selasa kliwon.
Para penari ebeg terdiri dari para pria dewasa yang selama pertunjukan mengalami kesurupan sehingga sanggup melakukan berbagai atraksi diluar penalaran, seperti makan beling/kaca, makan bara api, mengupas kelapa muda dengan menggunakan gigi dsb..
Sebagaimana kesenian sintren, kesenian ebeg juga sangat jauh dari kesan-kesan erotis ataupun pornoaksi. Sebaliknya nuansa mistis sangatlah kental.

Untuk pentas wayang kulit dan ketoprak termasuk jenis tontonan yang sekaligus juga berfungsi sebagai tuntunan, karena selalu menyuguhkan lakon-lakon cerita yang mengisahkan tentang budi pekerti sehingga banyak sekali pesan-pesan moral yang dapat di sampaikan melelui pertunjukan wayang kulit dan ketoprek ini.
Adalah pak guru Karso alias ki dalang Sukarso siswo carito. Salah seorang tokoh kesenian Pakujati. Eksistensi dan komitmen beliau dalam nguri-uri budaya tradisional jawa khususnya wayang kulit dan ketoprak memang tidak diragukan lagi. Dibawah pimpinan beliau, wayang kulit dan ketoprak selalu menjadi pentas yang dinanti-nantikan oleh warga masyarakat Pakujati dan sekitarnya.

Namun keberadaan kelompok-kelompok kesenian tersebut pada akhirnya tidak lagi dapat bertahan. Persoalanya bukan karena masyarakat Pakujati telah kehilangan selera berkesenian ataupun telah mengingkari budaya tradisi nenek moyangnya.
Akan tetapi dikarenakan oleh adanya sebuah kekuatan yang dengan lantang menentang dan mengharamkan kesenian sintren maupun ebeg.
Kekuatan ini di galang oleh para alim ulama Pakujati yang merasa resah dan melihat seni tradisi ini sebagai bentuk kemusrikan.
Lambat laun kesenian sintren dan ebeg pun seakan-akan telah mati.
Seiring dengan itu pula, kesenian wayang kulit dan ketoprak di Pakujati juga perlahan-lahan ikut tenggelam dan mati.

Sebagai gantinya adalah semakin banyaknya kelompok majelis taklim dengan kegiatan-kegiatan pengajianya.
Pakujati selangkah lebih maju menuju masyarakat yang religius / islami.
Dan seiring sejalan dengan berbagai perubahan jaman serta budaya, maka tibalah saatnya di hadapkan pada kebudayaan-kebudayaan kontemporer yang tidak kalah meresahkan.

Betapa tidak? lihatlah masyarakat sekarang setiap malam menonton sinetron-sinetron yang sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi kemajuan maupun mencerdaskan kehidupan bangsa. Tontonan yang sama sekali tidak layak disebut sebagai tuntunan karena hanya menjual imajinasi ngawur dan konyol, jauh dari rasionalitas dan realitas kehidupan sehari-hari.
Juga pentas-pentas musik yang menonjolkan pornoaksi dan keberingasan semakin merajalela.

Andai saja sebuah kekuatan yang dulu berhasil membunuh kesenian sintren dan ebeg kini dapat menunjukan kekuatanya kembali di Pakujati..
Sayangnya kekuatan itu seolah-olah tak lagi tanggap dan efektif.
Atau jangan-jangan telah mati pula.

EXTRAVAGANZA net.
feb' 2010

Minggu, 31 Januari 2010

PRAYAGATI dan ELANG SUTAJAYA pepunden desa PAKUJATI

Sebuah makam kuno terdapat di pemakaman umum desa Pakujati yang berlokasi di dusun karang bawang. Masyarakat pakujati meyakini makam ini sebagai makam keramat, dimana jasad mbah Prayagati dikuburkan. Mbah Prayagati adalah orang pertama yang babad tanah Pakujati. Namun dalam kisahnya, mbah Prayagati dibantu oleh seorang pengikut setianya yaitu Elang sutajaya. Sebuah makam kuno yang lainya juga terdapat di pemakaman Gamprit yang berada di dukuh Krajan masih wilayah desa Pakujati. Konon di makam inilah tempat jasad Elang sutajaya bersemayam.
Pada jaman dulu orang-orang tua selalu rajin berjiarah ke dua lokasi makam keramat ini.
Kadang bukan cuma sekedar berjiarah atau membersihkan dan mempersembahkan sesaji di makam-makam ini, melainkan juga mereka bertirakat dan bertapa sampai berhari-hari di tempat ini.
Namun seiring berjalanya waktu, kegiatan seperti itu sudah mulai berkurang dan nyaris tidak ada lagi.
Apalagi generasi muda sekarang lebih cenderung berfikir rasional, sehingga dengan sendirinya sudah tidak lagi menyentuh segala sesuatu yang bersifat tahayul.
Bahkan tidak sedikit diantaranya yang sama sekali tidak mengetahui adanya makam-makam keramat ini.
Riwayat mbah Prayagati dan Elang sutajaya yang dulu begitu berpengaruh terhadap sugesti pemikiran dan perilaku masyarakat Pakujati, kini hanya tinggal penggalan-penggalan kisah yang tak lagi utuh dan menyentuh pemikiran generasi muda Pakujati.
Adakah dengan begitu lantas Generasi muda Pakujati telah kehilangan figur dan pepunden?
Entahlah..
Namun yang pasti, generasi muda sekarang hidup di jaman yang hanya mengagungkan hukum-hukum negara. Tidak dikenal lagi oleh pemikiran mereka sebuah kearifan lokal yang berupa adat tradisi nenek moyang, yang mana didalamnya penuh dengan rambu-rambu moralitas.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dampak yang terjadi dari hilangnya nilai-nilai adat tradisi adalah berkembangnya gaya hidup dan pola pikir masyarakat yang miskin akan
norma-norma. Agama yang semestinya mampu menggantikan kedudukan setelah semakin hilangnya adat tradisi pun belum menunjukan efektifitasnya.
Sehingga untuk masalah kebenaran dan ketakutan untuk melanggar norma-norma, orang jaman dulu jauh lebih berkualitas dari anak-anak sekarang yang notabene lebih terdidik dan rasional.
Entahlah..

GLOBAL net' Februari 2010
TANTRA art & gallery karangbawang - PAKUJATI

Sabtu, 30 Januari 2010

Buat orang terkasih

..dalam kebisuanmu,
aku lelaki dengan sekeping hati
yang sarat akan rindu, cinta dan harapan
yang selalu tertuang dalam bait-bait sajak dan puisi
yang kau baca
namun tak pernah terbaca oleh hatimu

Kembara riduku terus mencari-cari
Terentang sayapnya hingga menjulang imajinasi
keindahan yang tersirat pada keayuanmu
Namun cintaku hanya indah di ujung pena
dan di bentangan mimpi-mimpi tak bertepi

Kni aku hanyalah lelaki
dalam dilema reality
mengurung diri dalam semadhi
menyusuri relung-relung hati dalam tanya mengapa..
ya..mengapa ku tak bisa berhenti menyintaimu..?

Budaya cermin kepribadian bangsa

Sebuah bangsa akan dipandang bermartabat apabila budaya yang ditampilkan menunjukan kecerdasanya dan memenuhi unsur-unsur ESTETIKA dan KEMANUSIAAN.
Unsur-unsur inilah yang agaknya tidak lagi nampak di negeri ini.
Estetika dan kemanusiaan seakan telah tergerus oleh arus perubahan jaman yang semakin tak terkendalikan oleh akal fikiran, sehingga euforia kebebasan demokrasi dan globalisasi begitu hiruk pikuk dan tumpang tindih.
Semua mengatasnamakan kebebasan meski harus menginjak-injak adab dan nilai-nilai budaya.
Generasi muda semakin tercerabut dari akar budaya bangsanya sendiri, semakin kehilangan jati diri dan parahnya lagi semakin miskin selera berkesenian.
Virus kengawuran merajalela. Anarkisme menjadi trend baru yang mewarnai pemikiran dan perilaku bangsa ini. Tontonan yang dapat berfungsi sebagai tuntunan semakin langka. Idealisme kian terkikis oleh materialisme.
Sungguh bangsa ini sedang sakit.
Bangsa ini telah terlalu jauh meninggalkan budaya adiluhung.
Dan kini tengah bingung menemukan bentuk dan warna yang sejati, yaitu ESTETIKA KEMANUSIAAN.

Ada apa dengan PAKUJATI..

Deasa Pakujati berada di wilayah kecamatan Paguyangan kabupaten Brebes Jawa tengah. Desa dengan luas wilayah ... dan berpenduduk ... jiwa ini dalam sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan.
Selain menjadi daerah penghasil tepung tapioka dan beras, Pakujati juga merupakan sentra peternakan ayam terbesar di wilayah Brebes selatan.

Dinamika keseharian di Pakujati memang begitu nampak. Aktifitas bisnis yang berlangsung dari subuh pagi hingga larut malam menunjukan betapa perekonomian di desa ini sedang menggeliat bangkit. Sektor pertanian dan industri perdagangan merupakan komoditi utama yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga angka pengangguran di desa ini pun relatif sangat rendah.

Pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur di Pakujati nampaknya juga terbilang berhasil. Hal ini menandakan bahwa pemerintaha desa telah menunaikan tugas dan kewajibanya dengan baik dan semestinya.
Akses jalan yang menghubungkan antar pedukuhan sudah seluruhnya merupakan jalan aspal.
Jalan-jalan gang juga nampak semakin tertata rapih dengan menggunakan pavling blok.

Jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah sekitarnya, Pakujati memang lebih tampil cantik dan unggul dalam banyak hal, baik laju pertumbuhan perekonomianya, pembangunan desa maupun pendidikan serta kesejahteraan masyarajatnya.
Ditambah lagi dengan tipikal masyarakatnya yang agamis, menjadikan desa ini senantiasa aman dan nyaman.

Salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi nyata bagi meningkatnya taraf hidup warga Pakujati adalah para TKI dan TKW.
tidak sedikit warga desa Pakujati yang menjadi pekerja di luar negeri. Tentu saja dengan penghasilan yang lebih besar dibanding bekerja di negeri sendiri selain dapat untuk membantu perekonomian keluarga juga nantinga sangat terbuka peluang usaha bagi mereka setelah pulang kampung.

Namun benarkah dibalik penampilan cantik Pakujati tidak ada permasalahan mendesak yang jika tidak segera ditanggulani maka hal ini akan dapat mengakhibatkan dampak buruk bagi warga masyarakatnya?
Ternyata memang ada..

Sebagaimana yang kita ketahui, Pakujati adalah merupakan sentra peternakan ayam petelur terbesar di wilayah Brebes selatan. Tentu saja hal ini sangat erat kaitanya dengan masalah lingkungan.
Lingkungan yang bersih dan sehat adalah merupakan dambaan setiap orang.
Dimanapun kita tinggal di suatu tempat maka kebersihan dan kesehatan selalu menjadi prioritas utama karena kesehatan bukan hanya penting tetapi juga merupakan harta yang paling berharga. Lebih berharga dari apapun.
Maka oleh sebab itu, menjaga kesehatan jauh lebih baik dan utama ketimbang mengobati ataupun memelihara sarang-sarang penyakit.

Kesadaran seperti inilah rupanya yang masih belum menyentuh hati nurani dan akal sehat para pelaku usaha ternak ayam di Pakujati. Mereka dengan seenaknya sendiri membangun kandang-kandang ayam tanpa mempedulikan jarak idealnya dengan rumah-rumah penduduk.
Masyarakat sendiri pun tampaknya masih belum sampai pada taraf pemikiran yang peduli dan menyadari akan hak-haknya untuk hidup sehat, sehingga bau kotoran ayam yang cukup menyengat dan juga lalat-lalat yang berkeliaran di wilayah hunian warga seolah-olah bukan lagi persoalan. Bukan polusi dan bukan pencemaran lingkungan.


Aparat pemerintah yang semestinya berwenang mengontrol dan mengatur lingkungan hidup juga seakan-akan tidak pernah melihat dan manyadari apa yang sedang dan akan terjadi dengan lingkungan Pakujati seiring semakin maraknya pembangunan kandang-kandang ayam secara semrawut tanpa memperdulikan aturan-aturan hukum.
Aturan hukum yang mengatur tentang jarak ideal antara kandang-kandang ayam dengan hunian warga nampaknya mamang tidak pernah tersosialisasikan dengan baik, sehingga yang terjadi kemudian adalah seorang pengusaha ternak ayam merasa bebas dan sah-sah saja mendirikan kandang-kandang ayam meski jarak dari pemukiman penduduk tidak sesuai ketentuan yang berlaku, bahkan terlalu sangat dekat.

Udara bersih dan sehat menjadi barang langka. Setiap detik kita dipaksa harus menghirup udara yang penuh dengan kuman dan bakteri, bahkan virus.
Disadari atau tidak, lambat laun kitapun akan menuai dampak buruknya. sungguh tragis.

Entah sampai kapan keadaan ini akan terus berlangsung.
Sebetulnya bukan langkah sulit bagi aparat pemerintah untuk mengontrol dan mengatur usaha ternak ayam di Pakujati agar lebih teratur dan tertib tanmpa harus melanggar hak-hak sesama warga.
Warga masyarakat juga sebetulnya berhak mengajukan keberatan apabila hak-haknya untuk hidup sehat merasa telah dilanggar.
Logikanya setiap orang punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat.
Namun hal ini memerlukan komitmen dan pola pikir yang cerdas/waras demi mewujudkan lingkungan yang bersih, indah, teratur dan sehat.

Sungguh sangat disayangkan ketika semangat membangun desa dan meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat tidak disertai dengan semangat menciptakan lingkungan yang bersih, masyarakat yang sehat dan sadar hukum serta memiliki cita rasa akan estetika dan etika hidup bersama.

"..tata titi tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi.." tentu bukan sekedar pitutur orang tua yang tanpa makna.
Semoga desaku semakin maju, semakin beradab dan berbudaya...

karangbawang Jan' 2010
By : TANTRA art & gallery karangbawang - PKUJATI

Jumat, 29 Januari 2010