Rabu, 03 Februari 2010

PAKUJATI doeloe dan sekarang

Pada era tahun 80-an, kesenian rakyat tradisional di desa Pakujati sangat maju dan berkembang. Beberapa kelompok kesenian seperti ebeg, sintren, wayang kulit dan ketoprak sempat eksis dan menambah kekayaan khasanah budaya pakujati pada saat itu.
Selain sebagai tontonan yang murah meriah dan bersifat menghibur, setidaknya keberadaan kelompok-kelompok kesenian tersebut juga merupakan sarana berkreasi dan berekspresi bagi para penggiat seni di Pakujati.
Setiap kali datang musim kemarau panjang, suasana malam di desa Pakujati selalu hangat dan greget dengan digelarnya pertunjukan kesenian sintren selama 40 malam tanpa henti.
Konon pertunjukan sintren ini digelar untuk meminta hujan supaya musim kemarau berlangsung tidak terlalu lama.
Namun terlepas dari apapun tujuanya, kesenian sintren memang memiliki keunikan nuansa yang tidak bisa didapatkan dari kesenian yang manapun.
Nyanyian para mlandang adalah mantra-mantra mistis yang mampu mentransformasikan kekuatan gaib hingga merasuki raga sang peraga sintren, yaitu perawan suci yang berdandan menor namun jauh dari kesan erotis.
Tarian sang sintren nan gemulai mengikuti alunan tembang para mlandang seiring irama tabuhan gamelan yang sederhana namun cukup nyamleng terdengar di telinga.
Pertunjukan sintren ini biasanya dimulai sejak pukul 8:00 malam hingga pukul 1:00 dini hari. Selama pertunjukan juga selalu diramaikan oleh kehadiran seorang badut yaitu penari pria yang mendampingi penari sintren.
Dan uniknya, tak seorangpun penonton yang beranjak pergi sebelum pertunjukan sintren ini berakhir, meski 40 malam pertunjukan berturut-turut dapat saja mengakibatkan orang jenuh dan malas menonton. Namun hal itu tidak terjadi pada pertunjukan sintren.

Kemudian kesenian ebeg, pentas ebeg adalah tarian kuda lumping yang digelar pada seyiap malam jumat kliwon dan malam selasa kliwon.
Para penari ebeg terdiri dari para pria dewasa yang selama pertunjukan mengalami kesurupan sehingga sanggup melakukan berbagai atraksi diluar penalaran, seperti makan beling/kaca, makan bara api, mengupas kelapa muda dengan menggunakan gigi dsb..
Sebagaimana kesenian sintren, kesenian ebeg juga sangat jauh dari kesan-kesan erotis ataupun pornoaksi. Sebaliknya nuansa mistis sangatlah kental.

Untuk pentas wayang kulit dan ketoprak termasuk jenis tontonan yang sekaligus juga berfungsi sebagai tuntunan, karena selalu menyuguhkan lakon-lakon cerita yang mengisahkan tentang budi pekerti sehingga banyak sekali pesan-pesan moral yang dapat di sampaikan melelui pertunjukan wayang kulit dan ketoprek ini.
Adalah pak guru Karso alias ki dalang Sukarso siswo carito. Salah seorang tokoh kesenian Pakujati. Eksistensi dan komitmen beliau dalam nguri-uri budaya tradisional jawa khususnya wayang kulit dan ketoprak memang tidak diragukan lagi. Dibawah pimpinan beliau, wayang kulit dan ketoprak selalu menjadi pentas yang dinanti-nantikan oleh warga masyarakat Pakujati dan sekitarnya.

Namun keberadaan kelompok-kelompok kesenian tersebut pada akhirnya tidak lagi dapat bertahan. Persoalanya bukan karena masyarakat Pakujati telah kehilangan selera berkesenian ataupun telah mengingkari budaya tradisi nenek moyangnya.
Akan tetapi dikarenakan oleh adanya sebuah kekuatan yang dengan lantang menentang dan mengharamkan kesenian sintren maupun ebeg.
Kekuatan ini di galang oleh para alim ulama Pakujati yang merasa resah dan melihat seni tradisi ini sebagai bentuk kemusrikan.
Lambat laun kesenian sintren dan ebeg pun seakan-akan telah mati.
Seiring dengan itu pula, kesenian wayang kulit dan ketoprak di Pakujati juga perlahan-lahan ikut tenggelam dan mati.

Sebagai gantinya adalah semakin banyaknya kelompok majelis taklim dengan kegiatan-kegiatan pengajianya.
Pakujati selangkah lebih maju menuju masyarakat yang religius / islami.
Dan seiring sejalan dengan berbagai perubahan jaman serta budaya, maka tibalah saatnya di hadapkan pada kebudayaan-kebudayaan kontemporer yang tidak kalah meresahkan.

Betapa tidak? lihatlah masyarakat sekarang setiap malam menonton sinetron-sinetron yang sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi kemajuan maupun mencerdaskan kehidupan bangsa. Tontonan yang sama sekali tidak layak disebut sebagai tuntunan karena hanya menjual imajinasi ngawur dan konyol, jauh dari rasionalitas dan realitas kehidupan sehari-hari.
Juga pentas-pentas musik yang menonjolkan pornoaksi dan keberingasan semakin merajalela.

Andai saja sebuah kekuatan yang dulu berhasil membunuh kesenian sintren dan ebeg kini dapat menunjukan kekuatanya kembali di Pakujati..
Sayangnya kekuatan itu seolah-olah tak lagi tanggap dan efektif.
Atau jangan-jangan telah mati pula.

EXTRAVAGANZA net.
feb' 2010

1 komentar:

Om Deny mengatakan...

Saya bukan asli dari Pakujati, tapi sekarang saya jadi warga Pakujati.
Dulu waktu saya pertama kali melihat Ada pertunjukan Sintren yang kalau tidak salah diperankan (atau apalah namanya) oleh Yu Dju, Sadriyah dan temenya, saya merasa sangat bangga dan kagum sekali. Dalam hati saya berkata "di jaman yang-katanya- se-modern ini masih ada kesenian tradisional semacam itu." Tetapi sudah berapa tahun belakangan ini, saya tidak melihat dan mendengar lagi ada geliat lagi masalah kesenian tersebut.
Memang sudah jadi rahasia umum, bahwa kesenian tradisional macam Sintren, Ebeg itu mengandung unsur mistis. Tetapi apakah semua hal yang mengandung mistis itu PASTI MUSRIK?.......
Entahlah yang jelas kami sangat rindu dengan kesenian tradisional. Apakah Anak dan cucu kami sudah tidak tahu apa yang namanya Sintren, Ebeg........
Entahlah......